Raden Mas dan Raden Nganten

Keinginan papa di usia senja mencari trah keluarga dari Ayah nya tercapai.

Kakung (Bapaknya papa) kami tahu asli dari Madiun. Ceritera yang didapat dikarenakan Kakung saat itu ingin menjadi seorang Polisi, membawa kepindahan Kakung ke Sumatra, Jambi. Menikah dan siap melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.

Sebagai sesama perantau Mbah Ibu (istri Kakung) merasa tidak nyaman sering ditinggal tugas dijaman yang belum nyaman ditahun2 itu, maka Mbah Ibu memohon kepada Mbah Kakung untuk berhenti saja dari kedinasan. Sedikit ada kekecewaan diri utk tidak melanjutkan kedinasan kepolisian nya, yang tidak ada cerita lanjutnya lagi. 

Singkat cerita mereka keduanya sama-sama menjadi pelayan negara, menguasai area perawatan dan gizi, rumah sakit darurat dibawah naungan Belanda atau sekarang mungkin setara PMI atau redcross mungkin, tidak jelas.

Sampai setelahnya dijaman yang lebih nyaman, setelah kemerdekaan tentunya, mereka memulai kehidupan baru menata perekonomian didunia perjamuan atau herbal.

Tidak terpikirkan bagi kami, kenapa dahulu tidak mempertanyakan, kalau ingin menjadi seorang Polisi, mengapa harus merantau jauh ke Sumatra? Sehingga anak-anak Kakung sedikit kesulitan mengenal keluarga besar nya.

Tanah Jawa kan tempat pusatnya pendidikan pemerintahan. Apalagi dikota Madiun.

Kenapa kung?

Sudahlah tidak perlu dipertanyakan lagi. Pencarian TRAH ini sudah hampir sempurna terangkum.

Ternyata Kakung sama persis dengan Ayah nya (Buyut Kakung) tidak ingin berkepanjangan melanjutkan nama dengan TRAH nya.

Persis !

Mereka (Kakung dan Buyut Kakung) memiliki pilihan hidup menjadi manusia biasa, warga negara yang bebas, jalan kehidupan yang bebas.

Gelar Raden Mas yang harusnya tersanding di namanya tidak pernah dipakai.

Dahulu... Seingat saya, ketika masih duduk di bangku SD. Kami pernah mengunjungi Eyang Buyut Putri di Madiun. Kala itu Eyang Buyut Putri sudah tidak bisa berkomunikasi normal. Pendengaran dan kelumpuhan tidak dapat menyempurnakan kisah ini. Seingat kami ada satu pertanyaan yang sedikit menyentil ke papa saat itu.

"Sudah punya mobil berapa? Sudah punya rumah berapa?"

Mungkin saja pertanyaan itu sudah diluar kesadaran nya, yang menempel di memory nya mungkin itu hal lumrah. Kami sangat memaklumi. Khususnya kami anak-anak papa merasa ga pengaruh saat itu. Alhamdulillah kami sedari kecil sudah merasakan duduk di kursi mobil dan rumah yang nyaman.

Setelah bertahun-tahun lamanya tidak banyak penambahan ceritera dari penelusuran TRAH Kakung ini. Tapi tak apalah kita mencoba menemui beberapa orang yang tersisa untuk melengkapi ceritera ini.

Kami ikuti satu persatu informasi sebagai petunjuk...

Bismillah.... InsyaAllah tercapai

2 April 2021 sore kami menuju Madiun, tiba di Madiun dini hari pukul 02:00

3 April 2021 kami menikmati paginya Madiun

Setelah Dzuhur kami menemui salah satu keluarga untuk merunut cerita. Kelg ini adalah bulek, sepupu papa, dari adik Kakung. Kami sebenarnya memiliki kedekatan dengan bulek dan adik kakak bulek ini (mereka semua di Surabaya).

Dan seharusnya mereka tidak terlalu jauh.

Adik perempuan Kakung lainnya yang Ragil pun juga tinggal di Madiun, bersama Uyut Perempuan (yang pernah saya kunjungi sewaktu SD). Mungkin saja karena sepeninggal Kakung dan Uyut Kakung jauh lebih dulu. Yah positif thinking saja.


Runutan siap membawa kami ke beberapa pemakaman. Tidak pakai lama kami runut sambil diperjalanan. Tiba lah disuatu pemakaman yang tidak bernama. Diperbatasan Madiun dan Ponorogo.




Diantara perbatasan kota ini terdapat sungai. Di informasikan disekitar sungai dan kali. Kok ya sedih banget sih. Beneran ga ini?



Kami coba berhenti dan menelusuri jalan gang pertama. Memang tak jauh dari gapura perbatasan kota itu terdapat pemakaman tak bernama. Dan amazing dahsyatnya nisan-nisan nya pun tidak satupun bernama.

Astaghfirullah bagaimana cara menziarahi nya? Satu per satu kami mencoba memperkirakan, kali aja ada tanda-tanda yang khas.


Memandang keadaannya sepertinya ga yakin menemui makam Uyut Kakung. Tapi jika kita analisa dari tahun kepergian nya dan jenis bahan nisan yang digunakan, ada 1-2 yang berbahan batu. Serupa tapi tak sama. Lainnya cetakan cor/semen. Meskipun warna nya sama kusamnya kering lumut.

Kami yakini saja bahwa makam itu diantaranya milik Uyut Kakung. Seperti biasa layaknya hak peziarah kami lakukan untuk Uyut Kakung. Ada rasa belum puas memang, karena kami datang dari jauh. Tidak mendapatkan hasil yang pasti. Tapi kami yakin doa tersampaikan. Salam dan Shalawat untukmu mba Uyut Kakung...

Kami pun bersiap meninggalkan makam tersebut, tetiba datanglah seorang kuncen. Dari perawakannya kami ga yakin ini kuncen mengetahui pasti tepat makam nya. Karen dari usia kuncen nya saja jauh dari pemakaman dong. Beliau pun angkat cerita, ada 2 makam yang umurnya jauh dari lainnya. Tepat sekali beliau menunjukkan makam yang sama kita duga. Jadi yang mana diantara dua ini pak?



Kalo yang memang benar-benar tidak pernah ada yang menziarahi yang ini. Ya Allah.... Benar kalo begitu, tidak salah lagi firasat bermain. Air mata jatuh pada harapan kebenaran dari firasat. Masih rejeki kita berpapasan dengan kuncen nya selepas istirahat siang.


Alhamdulillah kami pun ringan seolah sudah menyempurnakan tujuan kami menziarahi dan InsyaAllah akan merawat makam tersebut. Sedikit terkisahkan dari pak kuncen, bahwa Uyut Kakung berlepaskan diri dari ke-Radenan nya karena ingin menjadi orang biasa saja, sehingga membawanya jauh ke perbatasan Ponorogo. Pembelajaran dari ini adalah ia melepas atribut kehidupan duniawi nya, dengan menjadi kesederhanaan hidup. Seorang Raden Mas juga memiliki pilihan hidup. Iya pun tidak ingin di ceritera kan lagi keberadaan nya ke banyak khalayak. Cocok sudah beberapa cerita telah terangkai.

Ternyata kita tidak bisa berlepas dari jasa seorang kuncen. Meskipun usianya jauh lebih muda dari nisan-nisan yang dirawatnya.

Lanjutlah perjalanan kami, speechless yah.. Kami mencari Uyut Putri. Kembali memasuki Madiun. Kami mencari rumah yang pernah saya kunjungi sewaktu kecil. Dimana akhir kehidupan Uyut Putri disana bersama Ragil putri nya (adik Kakung juga), dan tidak meninggalkan cucu kandung.

Tidak terawat sangat rumah yang begitu besar. Kami tidak kecewa, tapi kami hanya membutuhkan kelanjutan kisah. Kami membutuhkan informasi penulisan nama pada Nisan Eyang Uyut Putri. 

Tidak lama kami melanjutkan kepemakaman / pesarean. Agak istimewa, tenang nyaman dan sakral, karena Eyang Uyut Putri sudah sangat nyaman ditempat peristirahatan akhir, di pemakaman terbaik. Pesarean Ronggo Prawirodirjo I /II .  Akhir kehidupan nya di usia 105 tahun. Beliau kembali menggunakan gelarnya Raden Nganten. Kami titipkan Kisah Raden Mas dan Raden Nganten Suryo Karyo.

Sempurna sudah kisah yang ada jika kami anggap sempurna. Tapi jika ada usia kami ingin melanjutkan sampai ke orangtuanya uyut. Sedikit yang tersisa kisahnya konon orang terpandang dan bergelar di kota pendekar dan pemuka agama itu.

Pembelajaran yang kami dapat, segala sesuatu didunia ini hanyalah sementara, tidak ada yang terbawa. Nilai kebaikan dan tanggung jawab akan menempatkan kita ditempat yang baik. Bersyukur dengan setiap anugrah Tuhan akan terlahirnya kita didunia. Sempurna adalah kita yang menyempurnakan nya dari sisi kita memandang. Bukan dari arah luar.


Salam dan shalawat untuk Eyang Uyut Kakung dan Eyang Uyut Putri.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Lady

Beautiful That Afternoon